Kamis, 15 Januari 2009

Ada upaya untuk memperkeruh keadaan

Sudah empat tahun bergulir sejak kematian Munir. Namun entah, arwahnya tenang disana, atau sebaliknya. Masalahnya, upaya penelusuran kasusnya semakin hari semakin keruh. Kekeruhan ini tentu ada penyebabnya. Dan yang paling diuntungkan dengan kekeruhan ini tentunya adalah: si pembunuh yang sebenarnya.

Yang membuat keruh pertama kali, tentu karena kita percaya hasil visum dari Belanda. Di Belanda sendiri ada konspirasi tersendiri menyangkut visum Munir.

Yang membuat keruh selanjutnya, Presiden mengistimewakan kematian Munir dengan ditetapkannya Keppres. Semua rakyat Indonesia tentunya ingin jika kematiannya itu dibuatkan Keppres juga oleh presiden. Semua rakyat. Yang membuat keruh itu adalah karena presiden-lah yang memulai-mulai intervensi itu. Apakah seorang presiden tidak percaya dengan hukum negaranya sendiri? Intervensi itu bernama politik.

Yang membuat sudah keruh malah semakin keruh adalah aktifitas penyidikan yang seolah sengaja "digiring" oleh sesuatu. Padahal sudah susah payah, akhirnya malah mendapat cemooh orang. Jadi yang membuat semakin keruh itu adalah cara kerja yang tidak ada tata kerja. Prinsip-prinsip dalam penyidikan dan penyelidikan, terkesan diabaikan. Maka bukti dan saksi dihadirkan seadanya. Karena TPF, akhirnya polisi jadi bahan tertawaan. Lebih tertawa lagi karena polisi kita sempat ingin mengajak FBI untuk memburu si pelaku. Tapi DETEKTIF tidak pernah menertawakan polisi kita. DETEKTIF yakin polisi saat itu, juga dibawah tekanan ketika sedang melakukan penyidikan. Sekalipun ia bilang tidak, namun itu terlihat dari hasil kerjanya. Maka, makin keruhlah itu.

Temuan-temuan dan petunjuk dari penyidik dan TPF, akhirnya memulai babak baru kekeruhan itu. Opini, fitnah, duga menduga, dan tekanan, menjadikan kasus ini jauh dari substansinya. Hal ini terjadi karena terkesan sudah tunjuk target lebih dulu. Kita jadi ingat cerita tentang sekelompok arkeolog di negeri antah berantah, yang telah menemukan sisa-sisa fosil dimasa lalu di suatu tempat. Namun para arkeolog ini belum mampu menghitung berapa umur fosil itu secara ilmiah. KGB berusaha membantu. Maka dimintanya fosil-fosil itu dikirim ke kantor KGB untuk diperiksa. Sehari kemudian, KGB mengumumkan telah berhasil mengetahui umur fosil itu. 'Fosil-fosil itu berumur 123 ribu tahun', kata KGB. Mencengangkan. 'Bagaimana metode penelitiannya yang ditempuh?', tanya wartawan. Kata KGB; 'mereka akhirnya mengaku semalam, setelah diinterogasi!'. Jadi, fosil itu 'akhirnya mengaku' sendiri. Bukan karena penelusuran ilmiah dan materiil. Namun CIA tidak begitu saja percaya hasil penyidikan KGB. CIA meminta fosil-fosil itu dikirim ke markasnya untuk diperiksa lebih lanjut. CIA membutuhkan waktu dua hari untuk memeriksanya--memang agak lama dibanding pemeriksaan oleh KGB, rupa-rupanya CIA agak serius menelitinya. Kemudian CIA dengan meyakinkan, mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menentukan umur fosil-fosil itu dengan lebih tepat. Di headline surat kabar terkemuka di Washington, tertulis: 'CIA: Usia fosil adalah 321 ribu tahun. Lebih dari itu, fosil-fosil itu juga mengaku sebagai agen KGB'.
Ini lelucon. Tentu tidak lucu kalau proses penyidikan yang diharapkan serius, malah dipaksakan seperti lelucon. Lebih tidak tepat lagi apabila fitnah, dianggap sebagai lelucon. Yang DETEKTIF anggap lelucon itu adalah apa yang janggal dalam proses penetapan tersangka, hingga kepada penyajian bukti dan saksi.

Upaya penuntasan kasus Munir sampai kepada titik kritis adalah ketika teman-teman Munir mengajak publik untuk ikut 'menghakimi' hukum, pasca putusan Vonis Bebas Murni atas Muchdi Pr. Jika benar ingin mengungkap kasus Munir, semestinya kekecewaan teman-teman Munir janganlah menghalang-halangi jalan untuk menciduk pelaku yang sesungguhnya. Kita sudah lihat, akibat sepak terjang teman-temannya sendiri, akhirnya orang bilang kasus kematian Munir malah menjadi komoditas pemilu, komoditas politik, parahnya lagi malah berpotensi ke arah perpecahan. Itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Perasaan kecewa yang diungkapkan mereka, terkesan untuk menekan SBY. SBY lalu terkesan linglung, akhirnya seolah menekan instrumen hukum. Instrumen hukum juga nampaknya linglung. Mudah-mudahan tidak begitu.
Sementara--karena kecewa juga, ada yang menebar kebencian terhadap tim penasihat hukum di TPM. Ada yang iri jika TPM (Tim Pembela Muslim) mesra dengan organisasi-organisasi Muslim.
Tak kurang tak lebih, jika disini kita masih ingat ada sekumpulan orang yang 'ngotot' dengan memajang gambar tiga orang: A - B - C, dan ada tulisan 'tangkap' di atas gambar. Ini upaya "menggiring" agar publik menarik benang (hubungan) diantara ketiga orang itu. Artinya, publik diminta ikut "menghakimi". Bukannya hukum. Kalau mau tangkap, silakan lapor ke polisi. Prosedur hukum kan begitu.
Sementara itu lagi, disela-sela kerumunan orang disana itu, sempat-sempatnya orang-orang meneriakkan Papua Merdeka, dsb.

Maka kita sudah bisa tahu siapa yang membuat ini jadi keruh.

Kalau DETEKTIF, lebih baik matikan radio dan TV (kebisingan-kebisingan), agar konsen bekerja dengan istiqomah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar