Jumat, 16 Januari 2009

Permainan persepsi Kasum?

Kasum melaporkan Tim Penasihat Hukum Muchdi Pr ke polisi (17/1/08) atas dugaan mengintervensi PN Jakarta Selatan. Dugaan ini mencuat karena menurut persepsi Kasum, Tim Kuasa Hukum Muchdi Pr telah menghalang-halangi penyerahan berkas kasasi kasus Munir ke MA. Inilah yang namanya permainan persepsi. Dan Kasum memang "rajin" bermain-main dengan persepsi. Kita semua kuatir, jika ada orang yang sering bermain-main dengan persepsi, membolak-balikan fakta, orang itu dapat dianggap sebagai orang yang "kurang waras". Sebab kenapa? Sebab persepsi mereka sudah berbeda dengan persepsi manusia normal.

Semua orang tahu bahwa pengajuan kasasi yang "dipaksakan" ke MA itu tidak memiliki dasar hukum. Maka sangat wajar apabila tim kuasa hukum Muchdi Pr berniat mengembalikan prosedur kepada aturan yang benar sesuai hukum. Semestinya Kasum dapat dituduh telah mengajak dengan sengaja untuk melawan hukum yang berlaku. Dan karena itu tim hukum Kasum semestinya dapat dilaporkan karena telah menodai profesi advokat.

Belakangan hari masyarakat kita makin melihat tindakan anarkis atas hukum yang dilakukan segelintir orang-orang di LSM. Maka kita semakin prihatin. Prihatin karena teman-teman Munir nampaknya makin hari makin sering melawan hukum ketimbang menemukan siapa pembunuh Munir sesungguhnya. Semua orang yang pernah bersimpati pada Munir akhirnya wajar kuatir dan antipati jika kasus Munir malah menjadi pembenaran bagi teman-teman Munir untuk berbuat anarkis kepada hukum.

Kamis, 15 Januari 2009

Ada upaya untuk memperkeruh keadaan

Sudah empat tahun bergulir sejak kematian Munir. Namun entah, arwahnya tenang disana, atau sebaliknya. Masalahnya, upaya penelusuran kasusnya semakin hari semakin keruh. Kekeruhan ini tentu ada penyebabnya. Dan yang paling diuntungkan dengan kekeruhan ini tentunya adalah: si pembunuh yang sebenarnya.

Yang membuat keruh pertama kali, tentu karena kita percaya hasil visum dari Belanda. Di Belanda sendiri ada konspirasi tersendiri menyangkut visum Munir.

Yang membuat keruh selanjutnya, Presiden mengistimewakan kematian Munir dengan ditetapkannya Keppres. Semua rakyat Indonesia tentunya ingin jika kematiannya itu dibuatkan Keppres juga oleh presiden. Semua rakyat. Yang membuat keruh itu adalah karena presiden-lah yang memulai-mulai intervensi itu. Apakah seorang presiden tidak percaya dengan hukum negaranya sendiri? Intervensi itu bernama politik.

Yang membuat sudah keruh malah semakin keruh adalah aktifitas penyidikan yang seolah sengaja "digiring" oleh sesuatu. Padahal sudah susah payah, akhirnya malah mendapat cemooh orang. Jadi yang membuat semakin keruh itu adalah cara kerja yang tidak ada tata kerja. Prinsip-prinsip dalam penyidikan dan penyelidikan, terkesan diabaikan. Maka bukti dan saksi dihadirkan seadanya. Karena TPF, akhirnya polisi jadi bahan tertawaan. Lebih tertawa lagi karena polisi kita sempat ingin mengajak FBI untuk memburu si pelaku. Tapi DETEKTIF tidak pernah menertawakan polisi kita. DETEKTIF yakin polisi saat itu, juga dibawah tekanan ketika sedang melakukan penyidikan. Sekalipun ia bilang tidak, namun itu terlihat dari hasil kerjanya. Maka, makin keruhlah itu.

Temuan-temuan dan petunjuk dari penyidik dan TPF, akhirnya memulai babak baru kekeruhan itu. Opini, fitnah, duga menduga, dan tekanan, menjadikan kasus ini jauh dari substansinya. Hal ini terjadi karena terkesan sudah tunjuk target lebih dulu. Kita jadi ingat cerita tentang sekelompok arkeolog di negeri antah berantah, yang telah menemukan sisa-sisa fosil dimasa lalu di suatu tempat. Namun para arkeolog ini belum mampu menghitung berapa umur fosil itu secara ilmiah. KGB berusaha membantu. Maka dimintanya fosil-fosil itu dikirim ke kantor KGB untuk diperiksa. Sehari kemudian, KGB mengumumkan telah berhasil mengetahui umur fosil itu. 'Fosil-fosil itu berumur 123 ribu tahun', kata KGB. Mencengangkan. 'Bagaimana metode penelitiannya yang ditempuh?', tanya wartawan. Kata KGB; 'mereka akhirnya mengaku semalam, setelah diinterogasi!'. Jadi, fosil itu 'akhirnya mengaku' sendiri. Bukan karena penelusuran ilmiah dan materiil. Namun CIA tidak begitu saja percaya hasil penyidikan KGB. CIA meminta fosil-fosil itu dikirim ke markasnya untuk diperiksa lebih lanjut. CIA membutuhkan waktu dua hari untuk memeriksanya--memang agak lama dibanding pemeriksaan oleh KGB, rupa-rupanya CIA agak serius menelitinya. Kemudian CIA dengan meyakinkan, mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menentukan umur fosil-fosil itu dengan lebih tepat. Di headline surat kabar terkemuka di Washington, tertulis: 'CIA: Usia fosil adalah 321 ribu tahun. Lebih dari itu, fosil-fosil itu juga mengaku sebagai agen KGB'.
Ini lelucon. Tentu tidak lucu kalau proses penyidikan yang diharapkan serius, malah dipaksakan seperti lelucon. Lebih tidak tepat lagi apabila fitnah, dianggap sebagai lelucon. Yang DETEKTIF anggap lelucon itu adalah apa yang janggal dalam proses penetapan tersangka, hingga kepada penyajian bukti dan saksi.

Upaya penuntasan kasus Munir sampai kepada titik kritis adalah ketika teman-teman Munir mengajak publik untuk ikut 'menghakimi' hukum, pasca putusan Vonis Bebas Murni atas Muchdi Pr. Jika benar ingin mengungkap kasus Munir, semestinya kekecewaan teman-teman Munir janganlah menghalang-halangi jalan untuk menciduk pelaku yang sesungguhnya. Kita sudah lihat, akibat sepak terjang teman-temannya sendiri, akhirnya orang bilang kasus kematian Munir malah menjadi komoditas pemilu, komoditas politik, parahnya lagi malah berpotensi ke arah perpecahan. Itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Perasaan kecewa yang diungkapkan mereka, terkesan untuk menekan SBY. SBY lalu terkesan linglung, akhirnya seolah menekan instrumen hukum. Instrumen hukum juga nampaknya linglung. Mudah-mudahan tidak begitu.
Sementara--karena kecewa juga, ada yang menebar kebencian terhadap tim penasihat hukum di TPM. Ada yang iri jika TPM (Tim Pembela Muslim) mesra dengan organisasi-organisasi Muslim.
Tak kurang tak lebih, jika disini kita masih ingat ada sekumpulan orang yang 'ngotot' dengan memajang gambar tiga orang: A - B - C, dan ada tulisan 'tangkap' di atas gambar. Ini upaya "menggiring" agar publik menarik benang (hubungan) diantara ketiga orang itu. Artinya, publik diminta ikut "menghakimi". Bukannya hukum. Kalau mau tangkap, silakan lapor ke polisi. Prosedur hukum kan begitu.
Sementara itu lagi, disela-sela kerumunan orang disana itu, sempat-sempatnya orang-orang meneriakkan Papua Merdeka, dsb.

Maka kita sudah bisa tahu siapa yang membuat ini jadi keruh.

Kalau DETEKTIF, lebih baik matikan radio dan TV (kebisingan-kebisingan), agar konsen bekerja dengan istiqomah.

Karena kecewa, hukum pun dilanggar

Pro-kontra putusan vonis bebas murni atas Muchdi Pr oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan terus berlanjut. Setelah Jaksa Agung dan Kapolri, lalu giliran KY yang ditekan oleh beberapa pihak. Desakan-desakan yang mengatasnamakan masyarakat pun semakin bergulir sebagai pembenaran untuk menekan aparat hukum. Saya cuma tanya, "masyarakat mana yang dimaksud? Apakah 'masyarakat internasional', yang dimaksud? " Sebab kalau masyarakat Indonesia, tentu menginginkan aparat hukum yang bebas dari intervensi politik, pemerintah, maupun 'masyarakat Internasional'. Namun mengapa sekarang Imparsial, KontraS, Kasum--atau nama-nama lainnya itu, menyalahi dan melecehkan undang-undang negara kita. Mereka mencari simpati, tapi dengan cara mengajak publik untuk 'menghakimi' dan 'menekan'.

Putusan PN Jakarta Selatan memang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Namanya juga hukum, pasti yang salah tidak akan puas. Namun kekecewaan itu jangan diperparah dengan melanggar hukum. Masyarakat kiranya cukup cerdas dan mengerti, bahwa yang sedang kita tonton ini adalah tindakan anarkis atas hukum yang dilakukan Usman Hamid, dkk. Kita semua benci tindakan anarkis. Maka semestinya kita benci mereka. Menangis saya menulis ini.

Pengajuan kasasi atas putusan PN Jakarta Selatan sudah sangat jelas tidak memiliki dasar hukum. Tapi karena tekanan demi tekanan terus dilancarkan akhirnya membuat aparat hukum tidak bisa profesional dalam menegakkan hukum, dan mau saja diajak bersama-sama untuk melanggar KUHP. Kita menjadi sanksi akan komitmen pemerintah yang katanya akan menjamin kepastian hukum, jika hari-hari di belakang ia terlihat ambigu dan ragu karena terjebak dalam labirin politik dan intervensi.

Pemerintah sepertinya tidak sadar telah diadu domba dan sedang diajak "berjamaah" melanggar hukum.

Rabu, 14 Januari 2009

lacak SMS misterius

Isu SMS misterius telah beredar di kalangan wartawan tatkala Mabes Polri tengah menyidik kasus kematian Munir.Kalangan wartawan malah mengaku sudah mendapat informasi semacam itu sesaat setelah laporan Netherland Forensic Institute (NFl) tentang sebab-sebab kematian Munir dilansir publik pada pertengahan November 2004. Padahal saat itu Mabes Polri tengah menyidik kasus kematian Munir. Polisi belum lagi menetapkan siapa tersangkanya. Tapi pesan singkat itu telah menyebar kemana-mana, termasuk ke handphone para pejabat, kalangan LSM, dan wartawan ibukota . Entah siapa yang mengirimkan dan menyebarkan SMS ini pertama kali sehingga kemudian menjadi pesan berantai. Pesan berantai tersebut berbunyi :

"Pilot Garuda Pollycarpus: Pada bulan 02-2002 di rekrut oleh Muchdi PR Deputi V BIN sebagai agen utama intelijen negara, diangkat dengan Skep Ka BIN nomor 113/2/2002. Ia diberi senjata api pistol, ditandatangani oleh Serma Nurhadi dan diperpanjang oleh Serma Suparto (SPT)."

Lebih jauh dalam SMS tersebut menyebutkan:
“Sehari setelah kasus itu, nama Polly muncul di media, yang bersangkutan kemudian diminta kembalikan pistol dan hari itu juga, seluruh dokumen Polly, di hapus atau dihilangkan. Yang memerintah adalah Muchdi PR, Spt dan Asad Waka BIN. Gang of 3 ini yang sebenarnya kuasai BIN. Polly sering ke BIN untuk ketemu Muchdi PR untuk merencanakan pembunuhan Munir karena takut di luar negeri Munir akan membuka lagi kasus penculikan aktivis di akhir orba 1997 lalu.”

Di akhir SMS berbunyi,
“Penyidik Polri dan Kepala BIN yang baru (Syamsir Siregar) diduga mengetahui keterlibatan ke-3 pejabat BIN tersebut dalam pembunuhan Munir. Tetapi tidak berani mengungkap.”

Tentang tersebarnya SMS misterius ini dimuat di situs berita detik.com (1/02/2005).

Inti dari sms-sms yang berseliweran itu berkisar tentang informasi bahwa Polly adalah anggota BIN, punya pistol BIN dan otak pembunuh Munir ada di BIN. Selain itu, bila melihat isi SMS tadi, agaknya si pengirim sudah mengarahkan bahwa Munir mati karena beberapa orang. Dan kuat dugaan bahwa SMS inilah yang kelak kemudian menjadi bahan bagi penyidik dan TPF "menunjuk" target.

Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Kematian Munir yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Desember 2004, yang beranggotakan unsur Polri, Kejaksaan, Departemen Luar Negeri, dan aktivis HAM ini akhirnya memang merekomendasikan agar Polly ditahan. Setelah menahan Polly, TPF kemudian melangkah ke BIN. Tiba-tiba TPF menemukan petunjuk berupa print out komunikasi telepon antara Polly dengan kantor BIN. TPF menetapkan sasaran berikutnya, yakni mantan Kepala BIN Hendropriyono dan Muchdi. Sampai di sini muncul pertanyaan: bagaimana asal usulnya hingga TPF mengarah kepada dua orang ini? Apakah cukup hanya berupa petunjuk dari SMS?

Sampai saat ini belum ada penyelidikan yang mengungkap siapa orang yang menebar SMS misterius itu. Yang pasti, si pengirim SMS itu memiliki data lengkap soal pejabat, LSM dan para wartawan. Di kalangan pers sendiri, isi SMS itu dimuat berulang-ulang. Mirip sekali dengan propaganda.

Memang wajar dan perlu diungkap tentang siapa yang menyuplai informasi kepada TPF? Siapa pula yang rajin mengirimkan SMS kepada wartawan seputar kaitan antara Polly dan BIN?

Demi hukum, SMS misterius ini harus diungkap.

Beberapa petunjuk yang seharusnya juga ditelusuri

Secara profesional, penyidik semestinya menggunakan metode bottom to up dalam menelusuri jejak pembunuh Munir. Sebab terbukti, metode up to bottom, atau menentukan target dulu baru kemudian dicari-cari bukti yang menguatkan, hanya menjadi bahan tertawaan saja kemudian hari. Dan entah berapa banyak klausul-klausul dalam undang-undang yang akhirnya dilanggar.

Tidak ada salahnya, bahkan sangat membantu penelusuran, apabila dimulai dari diri korban dulu. Dalam kasus kriminal, polisi biasanya mengumpulkan barang-barang milik korban, untuk menemukan petunjuk kepada pembunuh yang sebenarnya. Jadi fokus ke lingkungan terdekat dulu.

Maka dari itu, detektif mengatakan, bahwa beberapa items yang perlu ditelusuri dan dilacak adalah:

1. CDR Munir menjelang hari kematiannya harus dibuka dan dilacak.
Tujuannya adalah untuk mengetahui siapa saja yang telah berkomunikasi baik dengan telepon maupun SMS dengan korban, menjelang kematiannya. Dan kalau bisa, mengetahui apa isi pembicaraannya.

2. Isi laptop dan dokumen Munir harus diperiksa.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan petunjuk-petunjuk yang dapat menunjukkan arah kepada si pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

3. SMS misterius harus dilacak siapa pengirimnya yang pertama dan yang menyebarkan.
Nomor ini harus diketahui nomor siapa? Apalagi dari isi SMS misterius itu jelas bahwa si pengirim ingin "menggiring" kepada orang lain, karena orang lain itu bisa jadi musuhnya. Dan yang perlu diperiksa juga adalah apakah nomor tersebut pernah ada di dalam CDR Munir?